Tuesday, 13 January 2015

Peluang dan Tantangan E-Government

Peluang dan Tantangan E-Government

E-government adalah salah satu bukti transformasi area kehidupan dalam sektor publik yang diakibatkan oleh perkembangan teknologi informasi. Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah seiring dengan semakin bertambahnya penetrasi internet, sebagai bagian dari TIK, sekarang sangat mungkin meninggalkan prosedur lama yang terkesan kaku dan harus berbasis tatap muka.

Setiap perubahan, walaupun itu adalah untuk perbaikan, tentu akan menimbulkan berbagai reaksi mulai dari sekedar meragukan efektivitasnya sampai pada penolakan yang didasarkan pada kepentingan-kepentingan pribadi tersembunyi (vested interest) yang bertentangan dengan tujuan perubahan tersebut. Apalagi perubahan yang diterapkan di sektor pemerintahan tentu jauh lebih kompleks dan karenanya akan sangat sulit jika dibandingkan dengan perubahan yang diintroduksikan di sektor privat. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh pola penyelenggaraan birokrasi pemerintahan yang telah dilalui selama berpuluh tahun, dan telah dianggap sebagai sesuatu yang benar. Oleh karenanya melakukan perubahan atau pembaharuan di sektor ini jelas sangat membutuhkan upaya keras dan konsisten.

Penerapan e-Government sebagai suatu strategi inovasi di kalangan organisasi pemerintah, sebagaimana strategi inovasi yang diterapkan pada sebuah organisasi bisnis, jelas mensyaratkan adanya manajemen perubahan (change management) yang tepat demi kesuksesannya. Menerapkan e-goverment berarti melakukan serangkaian perubahan atau reformasi budaya (cultural change). Manajemen perubahan dalam konteks ini difokuskan pada bagaimana pihak-pihak yang berkepentingan dalam pelayanan public memasuki masa transisi dari pendekatan tradisional ke manajemen, dari era teknologi pre-information dan communication menuju era baru dimana lingkungan selalu berubah dengan cepat melalui perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat canggih (Riley, Thomas B.,2003).

Dengan demikian, manajemen perubahan lebih ditekankan untuk mempersiapkan individu-individu yang terlibat dalam suatu proses transformasi. Hal ini mengingat keberhasilan suatu program pembaharuan atau perubahan sangat ditentukan oleh sikap dan dukungan dari setiap komponen organisasi pada semua level. Perubahan menuntut adanya komitmen yang tinggi serta konsistensi tindakan kearah nilai-nilai yang ingin dikukuhkan menggantikan system nilai lama yang dianggap sudah tidak relevan lagi. Setiap perubahan, apapun bentuk dan motifnya, akan selalu menghadapi upaya penolakan (resistensi) dari beberapa pihak yang kurang mendukung terhadap adanya perubahan tersebut atau juga pihak-pihak yang kurang optimis terhadap keberhasilan suatu perubahan. Oleh karenanya yang perlu untuk mendapat perhatian adalah bagaimana meminimalisir daya resistensi tersebut dan menggalang komitmen bersama untuk mensukseskan perubahan yang dikehendaki.

Penerapan e-Government akan mendorong terjadinya perubahan cultural, yang berarti juga perubahan system nilai, tidak saja di kalangan birokrasi pemerintah, tetapi juga masyarakat secara menyeluruh termasuk privat sektor. Dari budaya birokrasi yang tertutup menuju budaya yang transparan, dimana tuntutan adanya transparansi itu semakin kuat dari level local, nasional dan sampai ke level internasional (antara Negara). Hal ini jelas sangat membutuhkan kesiapan mental serta kemampuan (skills) sumberdaya manusia yang memadai.

Di Indonesia, kendala utama dari penerapan e-government tidak dapat disangkal lagi adalah factor internal pemerintah utamanya faktor manusianya atau lebih jelasnya adalah kurangnya good will pimpinan (Bupati/ Walikota) selaku decision maker di tingkat lokal. Ketika wacana ini dilontarkan tidak sedikit sikap pesimis yang nampak sebagai refleksi keengganan individual untuk melakukan pembaharuan secara sungguh-sungguh. Hal ini tentunya dilatarbelakangi oleh berbagai faktor antara lain: kendala sumberdaya baik financial, maupun masih rendahnya penguasaan teknologi informasi di kalangan pegawai pemerintahan daerah setempat. Sikap pesimis atau ketidaksiapan tersebut nampaknya memang cukup rasional mengingat e-government ini memang memerlukan adanya penguasaan teknologi komunikasi serta kemampuan financial yang tinggi, belum lagi pengaruh factor-faktor spesifik atau kondisi tertentu di masing-masing Negara.

Sebagai contoh, membangun sirkuit internet untuk e-Government di Fiji (Jepang) memakan biaya 9 kali lipat dari yang dihabiskan di Jamaica (Campo, et.al.,2002). Selain itu kendala juga dapat berasal dari luar pemerintah (faktor eksternal) yakni ketidaksiapan masyarakat sendiri karena belum banyak yang familiar dengan komunikasi melalui digital teknologi. Hal ini terbukti ketika diterapkannya sistem electronic data interchange (EDI) untuk pengurusan prosedur ekspor impor di Kantor Bea Cukai.

Banyak customer atau perusahaan yang tidak siap dengan system tersebut. Huseini (1999) dalam paparannya menguraikan adanya tiga jenis tantangan dalam penerapan e-Government yakni yang bersifat tangible, intangible dan very intangible (dalam Muluk,2001). Tantangan seperti keterbatasan sarana dan prasaran fisik jaringan telekomunikasi dan listrik termasuk yang tangible. Sedangkan yang intangible misalnya tantangan financial, dan keterbatasan SDM. Sementara yang tergolong very intangible adalah keberanian pejabat pemerintah daerah untuk menerapkan e-Government berikut penerapan berbagai tindakan sebagai konsekuensi yang harus dilakukan seperti menegakkan disiplin atas segala pelanggaran serta bagaimana membangun knowledge society di kalangan birokrasi pemerintah itu sendiri (Muluk, 2001).

Banyaknya kendala dan tantangan dalam e-Government sebenarnya dapat diatasi sepanjang good will pemerintah untuk menerapkan system tersebut tetap kuat dan konsekuen. Masyarakat terutama di Negara-negara sedang berkembang akan dengan cepat berevolusi menuju digital society yang ditandai dengan beberapa hal sebagai berikut (Campo, et.al.2002):

- meningkatnya jumlah masyarakat yang menggunaan computer

- turunnya biaya komunikasi

- kemudahan dalam pemakaian dan mengakses berita-berita hangat menjadi suatu kebutuhan

- meningkatnya tuntutan masyarakat personalization dan instansi gratification

- meningkatnya telecommuting

- meningkatnya aktivitas ekonomi global

Adanya perubahan pola beraktivitas di kalangan masyarakat luas tersebut, sesungguhnya merupakan suatu peluang bagi penerapan e-Government. Kegagalan sebagaimana pada kasus EDI di Bea Cukai, paling tidak dapat diminimalisir dengan adanya jangkauan system yang lebih luas dan dapat diakses oleh masyarakat umum, tidak terbatas hanya pada specific customers. Masyarakat dengan karakteristik computer literate dan information minded yang semakin banyak tersebar di berbagai Kabupaten dan Kota, merupakan salah satu penggerak utama e-Government. Hal ini diidentik dengan pentingnya partisipasi masyarakat dalam good governance, hanya partisipasi tersebut dilakukan melalui pemanfatan teknologi informasi.

Partisipasi masyarakat dan kalangan dunia usaha dalam e-Government ini akan semakin terdorong oleh adanya kepentingan bersama akan adanya layanan publik yang makin professional dan berkualitas, serta adanya kesadaran akan perlunya membangun linkages antara berbagai pihak demi mewujudkan good governance. Dalam rangka itu maka e-Govt menjadi suatu kebutuhan dan merupakan sarana paling efektif, dengan pertimbangan beberapa keunggulan e-Govt sebagaimana dipaparkan terdahulu. Selain itu berdasarkan hasil analisis biaya- manfaat sebagaimana yang ditulis oleh Idham Ibty (2001), dari beberapa alternative kebijakan, e-Govt dianggap dapat memenuhi kualitas layanan prima sebagaimana ditetapkan pada kriteria-kriteria tujuan kebijakan sehingga layanan public ini mampu menjadi instrument kepastian hukum bagi masyarakat.

Adapun kriteria-kriteria tujuan kebijakan tersebut meliputi:

- Reformasi layanan public dalam kerangka pasar bebas dan free internal trade

- Desentralisasi dan Otonomi

- Optimalisasi dan efektivitas aset dan sumberdaya insani

- Perimbangan keuangan daerah Pusat dan kemandirian daerah

- Ukuran biaya manfaat yang layak bagi kepentingan publik

- Efisiensi dan efektivitas ke pemerintahan

Untuk mencapai tujuan kebijakan sesuai dengan kriteria-kriteria tersebut tentunya tidaklah mudah. Hal penting yang harus dipertimbangkan adalah membangun harmonisasi antara pilar good governance, terutama dalam membentuk mindset (reorientasi) terhadap konsepsi akuntabilitas publik yang selama ini belum sepenuhnya tepat. Untuk itu diperlukan seperangkat kebijakan dalam rangka mendorong keberhasilan inovasi tersebut. Kebijakan tersebut antara lain dapat berupa (Campo, et.al,2002):

- Kebijakan yang dapat menciptakan iklim politik yang mendorong pengambilan resiko di kalangan birokrasi pemerintah. Nilai-nilai yang mendasari pola perilaku birokrat yang cenderung status quo sangat anti terhadap resiko, cenderung tidak suka dengan inovasi yang belum jelas keberhasilannya dan lebih memilih pola-pola lama yang sudah dianggap benar, sudah waktunya diganti dengan nilai-nilai yang menghargai inovasi dan kreativitas.

- Kebijakan yang mendorong inisiatif local. Mengurangi dominasi pusat atau pemerintah nasional, untuk kemudian lebih memberdayakan institusi local karena mereka yang lebih dekat dengan masyarakat, kelompok-kelompok kemasyarakatan dan bisnis. Melalui reorganisasi struktur pemerintah local dapat menjadi window of opportunity bagi kebebasan berpikir dan melakukan perubahan termasuk melaksanakan ICT.

- Kebijakan yang menempatkan tujuan bisnis dalam pelayanan public. Hal ini tidak berarti menciptakan nuansa bisnis dalam memberikan pelayanan public, tetapi lebih untuk mendorong peningkatan kualitas pelayanan yang secara langsung dinikmati oleh masyarakat sebagai customer melalui system appraisal yang kompetitif. Melalui kebijakan-kebijakan sebagaimana diuraikan di atas, diharapkan akan mampu mengubah system nilai dan pola perilaku lama menuju ke pola perilaku baru yang mengedepankan connectivity antara berbagai komponen dan level masyarakat, swasta / pengusaha dan pemerintah yang menjamin adanya kemudahan, kecepatan dan akhirnya memberikan kepuasan. Terbentuknya connectivity tersebut merupakan investasi budaya luar biasa yang dalam jangka panjang akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat.

Referensi :

Azhari, Idham (ed), Good Governance dan Otonomi Daerah: menyongsong AFTA tahun 2003 (Yogjakarta: Prosumen dan Forkoma-MAP, UGM, 2002).

Bachus, Michiel, E-governance in Developing Countries, IICD Research Brief No.1, March, 2001.

Campo, Salvatore Schiavo and Sundaram,Pachampet, To Serve and To Preserve: Improving Public Administration in A Competitive World (Asean Development Bank: 2002).

E-Governancein depth "http://www.glowingweb. Com/egov/indepth.htm

Hoessein, Bhenyamin, Implementasi Kebijakan Desentralisasi dan Idealisasi Kebijakan Desentralisasi, Bisnis dan Birokrasi: Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol.IX/2/Mei/2001.

Karim, Abdul, reengineering the Malaysian Public Service and the use of IT in promoting eficiensy and quality, Asian Review of Public Administration, Vol. X, No. 1-2, Pp.57-69, 1998.

Muluk, M.R. Khairul, Lokalisasi dan Globalisasi: tantangan dan peluang Digitalisasi Pemerintah Daerah, Bisnis dan Birokrasi: Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol.IX/2/Mei/2001.

Osborne, David dan Gaebler,Ted, Mewirausahakan Birokrasi (Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1997).

Riley, Thomas B., Change Management, E-Governance, and The Relationship to E-Government, Commenwealth Centre for Electronic Governance, 2002.

Semoga Bermanfaat :)

No comments:
Write komentar